Salam :)

Selasa, 26 Maret 2013

TUKARAN YANG LEBIH BERHARGA




" Hei, kau tau Mushab?" seorang wanita bertanya pada temannya. Siang itu para wanita itu sedang berada di dalam sebuah rumah untuk mengerjakan suatu pekerjaan bersama.

" Ambooii...bagaimana mungkin aku tidak tahu! Dia adalah lelaki paling gagah yang pernah kutemui seumur hidupku. Keturunan Umair yang paling baik," wanita yang ditanya menjawab. Matanya berbinar-binar.

" Kau tahu, tak ada lelaki yang lebih rupawan daripada dia. Dialah yang bisa membuat hati seluruh wanita-wanita yang ada di Mekkah ini tergila-gila padanya," tambahnya. Keduanya lalu tertawa bahagia.

" Haiii....cepat keluar....Mushab akan lewat!!" seorang wanita berteriak dari depan pintu. Kedua perempuan muda yang ada di dalam segera berhamburan keluar rumah.

" Amboooiiii.... mana gerangan si jantung hatiku? Wanginya parfumnya sudah tercium dari sini" teriak salah satunya.

" Tak sabar hati ini melihat wajahnya. Tak bisa diriku sehari saja berhenti melihat wajahnya," tambah yang lain.

" Mushab masih berada di pasar, sebentar lagi pasti dia akan lewat sini," kali ini suara milik si peneriak tadi. Jarak pasar sendiri dengan rumah para wanita itu sekitar 100m.

" Pakaian apa yang akan dikenakannya hari ini? Dia selalu mengenakan pakaian terbaik yang ada di Mekkah. Tak pernah kumelihat dia memakai pakaian yang sama setiap harinya. Parfumnya? Dari jarak jauh saja sudah tercium baunya," mata wanita itu kembali berseri-seri.

" Dia sangat beruntung mempunyai Ibu yang begitu mengasihinya. Dia adalah anak kesayangan Khunnas binti Malik,".

" Ya, apapun yang dimauinya Khunnas pasti akan mengabulkannya".

Hati wanita-wanita itu masih berbuncah. Seri-seri di wajahnya menantikan kedatangan pemuda paling tampan di kota Mekkah. Semua gadis mengagumi keanggunan Mushab anak Umair.

Tak lama setelah itu lewatlah Mushab beserta para penjaganya. Wanita-wanita itu semakin menggila. Baju Mushab yang begitu bagusnya, wajahnya yang rupawan, wangi yang menyelimuti seluruh tubuhnya membuat para wanita itu menjerit-jerit histeris dalam hati mereka. Hingga tak tersadarkan mereka terus memandang Mushab tanpa menyadari keadaan sekelilingnya. Mushab sendiri tetap berjalan dengan tenang dan tak terpengaruh dengan hal-hal seperti itu. Sungguh dia adalah seorang pemuda yang begitu rendah hati.

***

" Siapa Muhammad itu?"

Mushab bertanya pada para pengawalnya. Saat itu di Mekkah begitu ramainya orang-orang membicarakan tentang Muhammad bin Abdullah.

" Dia adalah orang gila tuan. Dia orang yang mengaku-ngaku kalau dirinya adalah Nabi. Dia yang yatim piatu, keponakan Abu Thalib yang bodoh. Bahkan untuk membaca saja dia tidak bisa," salah seorang pengawal Mushab menjelaskan.

Mushab tertegun. Muhammad, seorang yang mengaku dirinya Nabi? Bagaimana caranya?

" Apa yang dia bawa sehingga begitu banyak orang Mekkah yang membencinya?" Mushab tahu, di setiap tempat semua orang membicarakan Muhammad. Memakinya, menertawainya, bahkan ada yang berniat untuk membunuhnya. Hampir semua petinggi-petinggi Mekkah begitu membencinya, tak terkecuali ibu Mushab sendiri, Khunnas.

" Dia menyatakan bahwa dia adalah utusan Allah, Tuhan Yang Esa. Dia mengatakan bahwa berhala-hala yang kita sembah bukanlah Tuhan. Orang miskin dan orang kaya sama derajatnya di mata Allah. Dia menyuruh untuk menyayangi yang miskin dan menghentikan perbuatan yang semena-mena. Hahaha...bagaimana mungkin dia bisa bilang bahwa ada Tuhan baru yang bernama Allah. Dia benar-benar bodoh," pengawalnya menjelaskan kembali.

Mushab menyimak apa yang dikatan pengawalnya. Baginya Muhammad begitu menarik keingintahuannya. Apa yang menyebabkan dia berani untuk menyatakan bahwa dia adalah Nabi? Dan siapa Allah itu? Banyak pertanyaan berkecamuk di pikirannya.

Setelah itu Mushab mencari tahu segala hal tentang Muhammad. Dalam setiap pertemuan dengan petinggi-petinggi Mekkah, topik yang selalu dibicakan adalah Muhammad. Di mana di berada pasti setiap orang membicarakan tentang Muhammad dan agama yang dibawanya. Ada yang memaki-maki Muhammad, ada yang tertarik untuk mengetahui apa yang dibawanya dan lain sebagainya. Mushab semakin penasaran dengan apa yang dibawa oleh Muhammad. Otaknya yang cerdas menyuruhnya untuk mencari tahu tentang Muhammad. Bahkan dia berniat untuk bertemu dengan Muhammad. Mungkin setelah dia mendengarkan sendiri ajaran apa yang dibawa oleh Muhammad, baru dia bisa memutuskan apakah ajaran itu adalah kebenaran atau ajaran itu hanya karangan saja. Segera dia mencari tahu tahu di mana dia bisa menemui Muhammad.

" Kau bisa datang ke lembah di bukit Assofa. Di sana ada rumah Arqam bin Abi Arqam. Di sanalah biasanya Muhammad berkumpul dengan teman-temanya,".

Mushab akhirnya mendapatkan keterangan di mana dia bisa menemui Muhammad. Tanpa banyak kata lagi dia segera beranjak ke bukit Assofa seorang diri. Di dadanya membuncah harapan untuk bertemua dengan seorang yang bernama Muhammad. Mungkin akan ada pencerahan seusai pertemuan dia dengan Muhammad nanti. Mushab berjalan cepat, tak sabar untuk bertemu.

***

Rasulullah SAW beranjak mendekati Mushab. Dia mendekatinya, mengusap dadanya dengan penuh kelembutan. Senyum sejuta bintang menghiasi bibirnya. Lantunan ayat-ayat Allah yang dibacakannya tadi membuat Mushab bergidik.

Hati Mushab begitu tenang saat tangan itu menyentuh dadanya. Senyum itu menyejukkan kalbunya. Hilang semua resah dan gelisah yang ada di hatinya. Inikah yang dikatakan orang-orang sebagai orang gila?

Sore itu Mushab akhirnya mendapatkan rumah Arqam bin Abi Arqam. Rumah yang berada tepat di atas bukit Assofa. Tak ada yang melarangnya untuk masuk, malah dia terasa begitu diistimewakan di rumah sederhana itu. Muhammad menyambutnya dengan senyum penuh kesenangan. Mushab merasa dia diterima dengan baik. Tak lama setelah itu para sahabat Muhammad duduk membentuk lingkaran dan mendengarkan Muhammad membacakan ayat-ayat Allah.

Hati Mushab terasa begitu sejuk. Entah rasa apa yang dia rasakan saat ayat-ayat Allah itu memenuhi gendang telinganya. Sensasi itu begitu berbeda baginya. Seolah dia mendapatkan setitik air di tengah kemarau yang berkepanjangan. Bagaikan ada oase dengan air yang begitu melimpah pada saat dia kehausan di padang pasir yang tak berujung. Tenang sekali.

" Ya Muhammad...aku tak pernah merasakan ketenagan yang begitu mendalam selain hari ini. Sungguh apa yang tadi kaubacakan begitu menghujam jantungku. Seolah apapun yang kupunya tak ada artinya dibandingkan dengan apa yang kau bacakan tadi. Rinduku akan sebuah kedamaian yang hakiki terjawab pada pertemuan ini. Kau tak bisa kuragukan lagi sebagai Nabi. Sebagai utusan Allah. Maka hari ini aku ingin berislam. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah..." Mushab mengucapkan ikrarnya.

Beberapa orang sahabat yang hadir hari ini memekikkan takbir. Senyum Rasulullah semakin mengembang. Dia memeluk Mushab dan mendoakan untuknya kebaikan.

Hati Mushab benar-benar berada dalam ketenangan yang hakiki. Tak ada yang dikhawatirkan lagi dalam hidupnya setelah berislam, kecuali satu saja, Ibunya.

***

" Apaaaaaaaa??????!!!"

Khunnas binti Malik berteriak terkejut. Dia baru saja mengetahui dari pengawalnya kalau anaknya, Mushab memeluk agama Muhammad. Wanita berusiaparuh baya yang terlihat gurat ketegasan di wajahnya begitu marah mendengarnya. Bagaimana bisa Mushab mengikuti agama Muhammad si gila itu? Apa yang akan dikatakan oleh teman-temannya sesama pembesar Quraisy jika mereka mengetahui keislaman anaknya itu. Darah berdesir kencang di tubuhnya.

Segera saja Mushab dibawa kehadapan Ibundanya itu.

" Mushab, benar apa yang mereka katakan tentang keislamanmu? Bahwa kau telah menjadi salah satu pengikut Muhammad si gila itu?" Khunnas memandang tajam Mushab yang ada di hadapannya.

Mushab terdiam. Dia memandang wajah Ibunya. Di sekelilingnya para pembesar Quraisy juga menunggu jawaban dari lisannya. Inilah yang ditakutkannya. Hari ketika Sang Ibu mengetahui keislamannya. Ingin hati Mushab mengajak sang ibu yang begitu dicintainya mengikuti jejaknya masuk Islam. Ingin dia berbagi keindahan Islam pada ibunya seorang. Dia tak ingin melawan sang Ibu. Dia tak ingin menyakiti hati sang ibu yang begitu dicintainya. Tapi...dia telah memilih jalan indah yang bersebrangan dengan Ibunya.

" Iya Ibu, aku telah memeluk agama Islam. Agama Muhammad. Aku mengakui kerasulan Muhammad," Mushab berkata pelan namun tetap tegas. Lalu dibacakannya beberapa ayat-ayat Allah yang pernah diajarkan oleh Rasululloh SAW.

Sungguh...dada Khunnas binti Malik seolah diserang oleh beribu-ribu bongkah es yang mendinginkan hatinya. Apa yang telah dibaca oleh putranya sehingga dia hampir saja terpedaya. Duhai mantera apakah itu? Namun Khunnas segera menepis hal itu. Harga dirinya di depan para pembesar Quraisy tak ingin dijatuhkannya.

" Kauuuuuu!!!!!"

Khunnas siap mendaratkan tamparan di pipi Mushab. Tapi entah mengapa tangannya berhenti di udara saat dia melihat ada sekilas cahaya di wajah anaknya. Rasa iba menyergapnya. Dia lalu menahan pukulannya. Amarahnya mereda sesaat.

" Kurung dia di dalam kamarnya! Jangan biarkan dia keluar untuk menemui Muhammad!" Khunnas memerintahkan pengawalnya untuk membawa Mushab pergi.

Mushab segera dibawa menuju kamarnya. Segala benda yang berhubungan dengan Islam sudah dibersihkan oleh Ibunya. Bahkan di kamarnya pun tak ada apa-apa selain baju yang melekat di badan saja.

Khunnas binti Malik menghela nafas panjang. Para pembesar Quraisy sibuk bercakap-cakap tentang keislaman Mushab. Dada Khunnas berdegup kencang. Entah apa yang dibaca putranya itu, yang pasti dadanya tadi begitu sejuk mendengarnya. Tapi sekali lagi dia menepisnya.

***

Perahu itu baru saja menepi di Mekkah. Para penumpangnya segera berhamburan keluar. Mereka baru saja tiba dari Habasyah. Negeri tempat Raja Bijaksana bernama Najasyi itu tinggal. Begitu manusiawi perlakuan yang mereka dapatkan di sana. Andaikan Rasululloh SAW tidak menyuruh mereka untuk kembali ke Mekkah, tentu mereka akan menetap di sana untuk selamanya.

Pemuda itu berjalan gontai. Perutnya berbunyi. Sudah beberapa hari ini dia hanya memakan beberapa butir kurma saja. Pakaiannya terlihat seadanya saja. Gurat-gurat ketampanan di wajahnya tersembunyikan oleh rasa letih yang melandanya.

Dia menepi di satu tempat. Mekkah. Akhirnya dia bisa kembali lagi ke kota yang dicintainya itu. Sejuta memori terkenang di kota ini. Tempat dia dilahirkan dan dibesarkan. Tapi dia tidak bisa berlama-lama mengenang masa lalu. Sudah banyak tugas yang menanti untuk dilaksanakannya. Dia memandang kota Mekkah sekali lagi. Sendiri dia menepi.

" Mushab..."

Seseorang mendekatinya. Seorang berperawakan gagah. Dia mendekati Mushab.

" Oh Mushab..." lelaki itu lalu mengucurkan air matanya. Hatinya begitu terenyuh melihat Mushab. Apa yang dilihatnya sekarang sungguh berbeda dengan apa yang dilihatnya dulu.

" Sungguh, dulu kau kudapati sebagai seorang pemuda yang begitu rupawan. Begitu banyak orang yang mengagumimu. Kau adalah orang yang selalu mengenakan pakaian yang paling bagus di Mekkah. Kau yang begitu harum saat berjalan. Kau yang selalu dipenuhi apapun yang kau mau. Selalu mendapatkan apapun yang kau inginkan," air mata itu mengalir di hadapan Mushab.

" Lalu kau menukar itu semua dengan keislamanmu. Dan kau kehilangan segala kemewahanmu. Dan lihatlah kau saat ini...seolah dunia berputar di hidupmu. Tak ada lagi baju bagus di tubuhmu, tak ada lagi makanan yang begitu banyak, tak ada lagi...Sungguh, dalam keadaan sekarang pun aku masih mengagumimu Mushab..." deras air mata itu mengalir. Wajah itu memang begitu mudah menangis sehingga tampak bekas garis kehitaman di wajahnya sebagai tanda betapa banyaknya dia menangis.

Mushab tersenyum kecil. Dia berdiri mendekati sahabatnya itu.

" Sungguh Umar, nikmat yang kudapatkan setelah berislam lebih banyak daripada sebelum aku berislam. Kemewahan yang kunikmati sebelum ini sungguh tak ada artinya bila dibandingkan dengan keislamanmu. Andaikan aku ditawarkan harta dan kemewahan yang lebih banyak dari yang kupunya sebelumnya untuk ditukarkan dengan keislamanku, sungguh aku tak akan sedikitpun menukarkan keislamanku," Mushab menepuk pundah Umar bin Khatab yang ada di hadapannya.

Umar semakin mengaguminya. Sungguh akar Iman yang tertanam pada tubuh Mushab begitu menghujam dadanya. Rasululloh SAW telah menempanya lewat tangannya sendiri. Percayalah Mushab, kelak kau akan mendapatkan kemewahan yang lebih indah di surga kelak.

***

Wajah Ibu Mushab berada di hadapannya. Hari itu Mushab diminta pulang oleh Ibunya. Keinginan Khunnas untuk bersatu lagi dengan putranya begitu dalam. Tapi dia hanya ingin bersatu jika Mushab mau meninggalkan Islam dan kembali ke dalam pelukan agama nenek moyang mereka.

" Ada apa Ibu?" Mushab berkata dengan penuh kesopanan.

Khunnas memandang Mushab dengan tatapan tajam.

" Bilamana kau kembali kepada agama nenek moyangmu?" tanya sang Ibu.

" Maaf Ibu, setelah aku menemukan Islam tak akan ada agama lain selain ini. Aku tak akan menoleh lagi ke belakang," ujar Mushab.

" Jadi kau tetap bersikukuh dengan agama yang dibawa Muhammad itu?" Khunnas menegaskan.

Mushab mengangguk mantap. Insya Allah tak akan yang membuatnya goyah akan keimanannya.

Khunnas menjadi galau. Cara apa lagi yang harus diperbuatnya agar anaknya itu mau kembali ke dalam agama nenek moyang mereka.

" Kau lebih memilih mana Ibumu atau agama Muhammad. Aku akan memilih untuk mati jika kau tidak mau kembali ke agama nenek moyangmu Mushab," akhirnya kata-kata sakti itu dikeluarkan juga oleh Ibu Mushab. Dia sudah kehabisan akal bagaimana caranya agar Mushab mau kembali seperti dulu.

Mushab gundah. Bagaimanapun juga Khunnas adalah ibunya. Ibu yang merawat dan membesarkannya. Ibu yang amat disayanginya. Dan sekarang dia memberikan pilihan, apakah dia harus memilih tetap beriman atau kembali kepada Ibunya.

" Wahai Ibu, andaikan kau punya 13 nyawa dan nyawa itu satu per satu dicabut dihadapanku, sungguh aku tak akan menukar keimananku dengan hal itu," pelan Mushab menjawab. Cahaya Allah telah menyinari hatinya dengan terang benderang sehingga keimana itu tak tergoyahkan dengan apapun.

Ibu Mushab menangis. Habis sudah usaha dia untuk membujuk Mushab, anaknya. Dia tak tahu cara apa lagi yang harus dia gunakan untuk mengembalikan Mushab.

" Pergilah Mushab kemanapun kau mau. Jangan anggap aku sebagai ibumu lagi. Aku tak ingin menjadi ibumu lagi," Khunnas berkata dengan tegas sambil terisak.

Mushab menjadi sedih melihat Ibunya. Ingin rasanya dia merangkul sang ibu ke dalam Islam dan merasakan kedamaian dan keindahannya bersama.

" Wahai Ibu, aku sangat sayang kepadamu. Bersaksilah bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rosul Allah," Mushab mendekat kepada Ibunya.

Khunnas binti Malik menolak. Dia lalu pergi meninggalkan Mushab yang hanya tertegun melihatnya dari kejauhan. Ada satu hal sepertinya yang hilang dalam dirinya. Ibu terkasih harus berselisih jalan dengannya. Kapankah hidayah akan hinggap juga kepada Ibunya? Mushab hanya bisa berharap dalam hati.

***

"Serrrraaaaaanggggggg!!!!!!"

Teriakan kaum kafir Quraisy membahana di medan Uhud. Pasukan berkuda mereka berhasil menyerang dari atas bukit Uhud. Pasukan pemanah telah meninggalkan pos mereka hanya demi melihat harta yang bergelimpangan di bawah mereka.

Posisi Rasululloh terjepit. Semua pasukan kafir mengepung dan merusaha menyerangnya. Abu Dujanah dan Umar bin Khatab yang berada di garis depan berbalik arah menuju arah Rasululloh SAW.

Mushab bin Umair melihat posisi Rasululloh sedemikian begitu mudah diserang. Maka tak ada yang bisa dilakukannya lagi selain mengalihkan perhatian. Mushab melipatgandakan serangannya. Tangan kanannya memegang panji Islam sedangkan disebelahnya, pedangnya terlihat lihai melawan musuh. Dia berhasil membuyarkan konsentrasi musuh. Beruntung banyak musuh yang tidak mengetahui rupa Rasululloh SAW. Tangkas tangannya melawan mush. Bendera tauhid masih berkibar juga di tangannya. Kekhawatiran terhadap keselamatan Rasululloh masih menghantui benaknya.

Lalu datanglah Ibnu Qamiah. Dengan gerakan yang cepat dia berhasil menebas tangan kanan Mushab. Jatuh lah bendera itu. Mushab segera mengambil dengan tangan kirinya. Dia kembali mengibarkan panji-panji Islam itu. Dia mengangkatnya tinggi-tinggi. Hal ini mengundang perhatian musuh. Entah darimana tiba-tiba satu sabetan pedang yang lain memotong tangan kirinya. Bendera itu pun jatuh kembali. Ditahannya rasa sakit yang menyengat itu. Dia berusaha mengambil bendera yang terjatuh dengan kedua pangkal tangannya yang tersisa. Di benaknya masih mengkhawatirkan sosok Rasululloh SAW. Apakah dia selamat? Apakah dia masih hidup? Dia tak memikirkan lagi keselamatan dirinya.

“Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh para Rasul,” Mushab meneriakkan kata-kata itu untuk menghalau kekhawatirannya terhadap Rasululloh. Ingin rasanya dia menerjang pasukan kafir itu untuk menemui Rasululloh SAW.

“Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh para Rasul," teriaknya lagi.

Namun tiba-tiba sebuah tongkat menembus dada Mushab. Jatuhlah Mushab beserta benderanya. Tapi kekhawatiran terhadap Rasululloh SAW masih ada di benaknya. Tak ingin rasanya dia syahid sebelum mengetahui keselamatan Nabi yang dicintainya itu. Dengan gugurnya dia, peluang musuh untuk membunuh Rasululloh semakin terbuka.

“Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh para Rasul," Mushab mengucapkan kata itu lagi. Lalu tubuhnya jatuh telungkup menghadap tanah. Hari itu di perang Uhud, Mushab telah syahid. Sebentar lagi dia akan mendapatkan kemewahannya kembali di surga.


***

Air mata Rasululloh tak henti-hentinya keluar setelah melihat jasad paman yang dicintainya, Hamzah bin Abdul Mutholib, terkoyak-koyak. Sungguh Perang Uhud telah menorehkan luka di hati Rasululloh. Beliau berkeliling melihat para syuhada yang gugur hari itu. Air matanya masih mengalir sambil tak henti-hentinya mendoakan para syuhada itu.

Lalu sampailah Rasululloh SAW pada jasad Mushab bin Umair. Jasadnya menghadap ke tanah. Tangannya sudah tidak utuh lagi. Hanya ada selembar kain yang menutupinya. Beberapa para sahabat mencoba untuk membenarkan letak kain itu.

" Apa yang terjadi?" tanya Rasululloh SAW.

" Ya Rasulullah, kami bermaksud menutupi jasad Mushab dengan kain ini. Tapi tiapkali kami menutup kain ini dari kepalanya maka akan terlihat kakinya. Ketika kami menutupi kakinya maka akan terlihat kepalanya," salah seorang sahabat menjelaskan.

Rasululloh tertegun mendengarnya. Lalu dia memerintahkan kepada para sahabat untuk menutupi bagian kepala Mushab dan menutupi kakinya dengan rerumputan.

Air mata Rasululloh mengalir kembali.

" Mushab, dulu engkau adalah pemuda yang selalu berkecukupan. Tiada pakaian yang lebih rapih selain kepunyaanmu. Tapi pada hari ini kau hanya ditutupi oleh selembar kain," ujar Rasululloh sambil memandangi wajah Mushab. Tak lama ia membacakan surat Al-Ahzab ayat 23.


“Diantara orang-orang mukmin terdapat orang-orang yang telah menepati janji mereka kepada Allah.”

Rasululloh SAW memandangi sekali lagi para syuhada yang gugur pada hari itu. Para sahabat mendekat padanya.

“Sungguh, pada hari Kiamat kelak, di hadapan Allah, Rasulullah akan menjadi saksi bahwa kalian adalah para syuhada," ujar Rasululloh SAW.

Tak lama jasad para syuhada pun dikuburkan. Kembalilah Mushab kepada Sang Maha Pencipta. Berakhirlah episode kehidupannya di dunia. Keimanannya yang begitu menghujam kelak akan digantikan dengan kenikmatan yang abadi di surga.

Selamat jalan Mushab! Selamat jalan wahai duta Islam yang pertama. Selamat jalan pemuda tampan dan kaya yang menukar semua itu dengan keimanan.


EPILOG :

Di suatu sudut di kota Mekkah, Khunnas binti Malik mendengar kabar tentang kemangan pasukan kafir di Perang Uhud. Tak ada kegembiraan di hati Khunnas. Satu yang begitu dirisaukannya. Apakah putranya masih hidup? Atau jangan-jangan pasukan kafir justru telah membunuhnya? Hati Khunnas semakin tak menentu.***(yas)



0 komentar:

Posting Komentar